Yang Terlewatkan
I got a short message from you.
Nomor tidak tercantum dalam kontak tiba-tiba saja muncul
dengan sapaan hangat sembari menanyakan
kabar tentangku, dibawahnya pun di cantumkan nama si pengirim pesan tersebut. Aku
kenal betul dengan si pengirim pesan ini. Senyumku mengembang secara otomatis,
melihat nama itu tercantum dalam pesan tersebut.
Aku selalu menantikan pesan darinya, kabar darinya, sapaan
hangatnya—seperti biasa. Karena, tidak setiap hari aku bisa mendapatkan sebuah
pesan singkat seperti ini darinya. Butuh waktu lama untuk mendapatkan pesan
seperti ini darinya. Butuh waktu sekitar 6 bulan, itupun hanya satu kali. Jadi,
bisa dihitung berapa pesan singkat yang bisa ku dapat darinya dalam waktu 1
tahun.
Itu pun harus dia yang lebih dulu memberi kabar. Aku tidak
bisa sembarangan mengirim pesan singkat setiap saat padanya, ia tinggal
disebuah pondok yang penuh dengan aturan, yang tak bisa setiap saat memegang
handphone. Tapi, biarpun begitu, ia selalu rutin mengirimku pesan singkat
setiap satu semester berakhir atau bahkan jika ada waktu memegang handphone
sekalipun; seperti saat ini contohnya. Ia nekat mengirimku pesan singkat lewat
handphone-nya dengan nomor baru yang tidak ku kenal, yang dia bilang bahwa
nomor itu yang selalu dia bawa saat di pondok.
Berkali-kali ia ganti nomor handphone, tapi tetap saja
selalu menghubungiku dan memberitahuku jika ia mengganti nomor handphone-nya. Dan aku
senang, merasa selalu menjadi teman yang dia ingat, aku yang selalu tau perkembangan
dari nomor-nomor handphone nya yang selalu silih berganti—jika dibandingkan
dengan teman-teman lainnya yang sepertinya hampir sudah tidak pernah
berhubungan dengannya.
Aku hanya bisa tersenyum membaca setiap pesan singkat yang
ia kirimkan. Ada saja hal yang menarik ketika bisa berhubungan via pesan
singkat seperti ini dengannya.
Entah sejak kapan kami mulai sering berhubungan via pesan
singkat seperti ini. Mungkin sejak 2 tahun belakangan, semenjak kami berpisah
dari bangku Sekolah Dasar. Kemudian, ia pindah ke kota lain untuk menuntut ilmu,
sementara aku melanjutkan sekolah masih dikota yang sama dan jarak itulah yang
memisahkan kami.
Dan entah mengapa, saling memberi kabar setiap satu semester
seperti ini rasanya menjadi suatu kewajiban dan seperti sudah menjadi keharusan
bagi kami untuk saling menghubungi. Meskipun, selalu dia yang lebih dulu
memberi kabar, karena aku tak tau kapan waktu yang tepat untuk menghubungi dia.
Jadi, dia-lah yang menghubungi lebih dulu—biasanya.
Untuk pesan singkat yang ia kirim kali ini, rasanya ada
suatu penyesalan yang mendalam, ketika ku tanya soal kepindahannya untuk
menetap di kotanya sana. Awalnya, ia hanya sekedar sekolah disana, sementara
orang tua nya tetap tinggal disini. Dan dia akan pulang kembali apabilatelah
memasuki akhir semester atau liburan semester. Dan ketika ia kembali, biasanya
ia selalu menghubungiku untuk meminta aku mengajak teman-teman semasa SD untuk
sekedar kumpul dan reunian, tapi selalu saja gagal setiap mereka semua diminta
untuk kumpul. Entah apa yang salah. Merekanya yang memang tidak mau atau sibuk
dengan urusannya masing-masing? Entahlah. Tanyakan saja pada diri mereka atau
kalian (bagi yang merasa) masing-masing.
Kabar terakhir yang kudengar awal tahun ini adalah ketika
itu dia sempat liburan kekota ini, tapi, sayangnya aku dan dia belum sempat
bertemu karna berbagai alasan. Dan berita yang kudengar lagi, saat teman SD ku
dulu sempat bertemu dengan dia, lalu mereka sempat menghabiskan waktu bersama
dan ketika itu, dia menceritakan pengalamannya selama liburan bersama dan katanya, dia sudah akan pindah kekota
asalnya disana. Mendengar itu, rasanya berbagai penyesalan menghantam diriku,
mencabik-cabik semua luka yang ada, menggoreskan kepedihan yang begitu dalam.
Begitulah bodohnya aku, menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Disaat
dia mengajak untuk ketemuan, justru selalu gagal. Begitulah! Mungkin selamanya
aku akan menyesal karna belum sempat bertemu dia selama 2 tahun belakangan—meski
kami masih sering berhubungan sebatas lewat pesan singkat.
Setelah aku mendengar berita kepindahannya itu, aku juga
sempat bertemu dan berbincang-bincang dengan teman SD ku dulu yang masih berada
disekolah yang sama denganku. Dia bilang, nanti-entah kapan- teman-teman yang
sekolah diluar kota akan pulang untuk liburan kekota ini dan ingin mengajak
yang lain untuk kumpul bareng, reunian ke SD dan kata-kata yang paling mengena
adalah katanya, lelaki yang sering menghubungiku 2 tahun belakang itu juga akan
kembali ke kota ini dan nantinya kita akan berkumpul bersama. Tapi, begitu ku
tanyakan lagi padanya, apa dia akan kembali atau tidak? Dan jawabannya adalah—enggak,
mungkin. Rasa penyesalan semakin mencabik-cabik, meronta-ronta menginginkan
waktu dapat diputar kembali. Mengembalikan waktu dimana seharusnya ketika itu, kami
memutuskan untuk bertemu walaupun hanya sebentar, walaupun hanya ada segelintir
orang, walaupun hanya untuk sekedar melepas rindu, walaupun—walaupun. Ah sudahlah!
Mungkin Tuhan belum mengizinkan.
Tapi, kalau diingat-ingat lagi, entah darimana aku dan dia
jadi sering memberi kabar dan menanyai kabar seperti ini. Yang aku tahu,
sebelum seperti sekarang atau tepatnya ketika kami masih duduk di bangku SD, ia
bahkan tak pernah menghubungiku, punya nomor handphone salah satu saja enggak
apalagi untuk saling menghubungi. Ketika SD bahkan, dia lebih sering mengejekku
hanya untuk sekedar mencari perhatian-mungkin- dan menggangguku atau hanya
untuk sekedar bercanda. Hanya itu. Tapi sekarang, lihatlah kenyataannya! Semua sudah
berbeda.
Terakhir, sore ini saat aku mengetik artikel ini, kita masih saling berkirim pesan dan bertukar kabar. Sebuah pesan singkat darinya yang begitu mendalam bagiku adalah ketika,ia mengatakan lewat
pesan singkat itu padaku— “Sabar..
Innallaha Ma’ash Shaabirin” yang
berarti artinya adalah “Sesungguhnya
Allah itu bersama orang yang sabar.”
Itu sedikit pelajaran yang bisa aku terima dari dia, dia
mengajari dan mengingatkanku tentang arti sabar. Terimakasih, aku akan selalu mengingat pelajaran penting ini darimu. Terimakasih.