Keliru
Berjalan; sudah menjadi kebiasaanku selama aku resmi menjadi siswi
menengah atas di kota Semarang.
Hari ini, tidak seperti biasanya,
aku pulang terlambat hingga hampir gelap, karena ada pelaksanaan sidang yang
harus segera kami—aku dan teman-teman kelasku—selesaikan.
Aku berjalan dengan lemah; dengan
sisa energi yang ku punya. Tetapi, tiba-tiba saja aku merasa sisa energi ku itu
berkurang secara drastis, ketika aku dan kau berpapasan di jalan menuju gerbang
sekolah, dan yang membuatku merasa semakin lemah adalah ketika kau melewatiku
begitu saja dengan motor-mu itu tanpa perlu repot-repot kau menoleh kearahku
atau bahkan melihat kearahku sedetik saja, tak kau lakukan. Padahal, yang aku
tau, saat itu lingkungan sekolah sedang sepi, karena hari hampir senja, aku
rasa sangat tidak mungkin jika kau tak melihatku saat itu.
Aku tersenyum miris, berdecak
kagum melihat dirimu yang sekarang, yang berada di atas awan, yang tak sudi
lagi melihat diriku ini. Hebat! Kau melakukannya dengan sangat rapi;
menutup-nutupi semua yang pernah terjadi di antara kita, kau bahkan
berpura-pura tak mengenalku. Mungkin seharusnya kau memenangkan penghargaan
piala bergengsi sebagai aktor dengan peran terbaik. Seharusnya.
Jalan yang ku tapaki tak pernah
terasa seberat ini. Aku memaksakan kedua kaki-ku untuk tetap terus melangkah,
hingga suara motor yang ku kenali terdengar semakin mendekat kearahku.
“Yas,” sebuah suara bass khas
lelaki itu terdengar menyapaku, aku otomatis menoleh dan berakhir dengan
membeku melihat siapa yang ada di hadapanku ini; lelaki yang baru saja ku lihat
melewatiku di dekat gerbang sekolah.
“Kamu baru mau pulang? Aku antar
ya,” tawarnya.
Aku menggeleng cepat, “Nggak
usah, udah deket kok.”
“Nggak apa-apa, memangnya kamu
nggak capek apa habis seharian sekolah masih harus jalan kaki kerumah?”
“Nggak, aku bisa pulang sendiri,”
aku menolak, meneruskan langkahku, tetapi ia justru menghalangi jalanku dengan
motornya yang ia hentikan tepat di depan kaki-ku.
“Udahlah biar aku antar, ayo naik,”
ia menepuk jok belakang motornya, memberi isyarat agar aku naik pada motornya.
Aku mengalah, aku memilih ikut
dengannya.
Saat hendak berjalan menaiki bangku belakang motornya, tiba-tiba saja pergelangan kaki kanan ku terasa nyeri, “awww,” rintihku pelan. Aku menengok kebawah, ah, ya ampun aku baru
saja menginjak batu besar dan tergelincir. Hampir saja kaki kanan-ku keseleo
untuk yang kedua kalinya; karena sebelumnya aku pernah keseleo ketika masih SD.
Beruntung
aku tak jatuh setelah menginjak batu berukuran cukup besar itu, aku menoleh ke
sekeliling, tak ada siapapun, tak ada lelaki itu, yang ada hanya sedikit motor
dan mobil yang berlalu lalang di gang kecil menuju rumah saat itu. Lelaki itu
tidak ada, aku tidak sedang berada di atas motornya, ia tidak sedang mengantarku
pulang kerumah, aku masih berada dijalan itu berdiri tegak dengan kedua
kaki-ku. Sepertinya aku terlalu lelah, ditambah lagi pertemuan tak disengaja saat berpapasan dengan
lelaki itu sebelumnya membuat energi-ku benar-benar tak bersisa. Aku rasa itu
hanya ilusi-ku saja.
Aku meneruskan
langkahku, berjalan sambil sesekali menoleh ke belakang, entah mengapa aku
masih tak percaya bahwa ini hanya ilusi, hanya khayalan-ku saja.